Kamis, 05 Oktober 2017

Biro Hukum K/L/D/I Dituntut Aktif Tangani Permasalahan Hukum Pengadaan Pemerintah

Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta menyampaikan materi penanganan sengketa hukum pengadaan barang/jasa dalam kegiatan “Peningkatan Kapasitas Stakeholder Terkait Penanganan Permasalahan Hukum dan Pelatihan Hukum Kontrak”, Kamis (28/09) di Surabaya.

Menurutnya, Biro Hukum Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/D/I) memiliki peran penting dalam menangani kasus sengketa hukum pengadaan barang/jasa. Faktor penyebabnya adalah masih rendahnya tingkat pemahaman tentang pengadaan barang/jasa, kurang pedulinya para pejabat karena kasus hukum pengadaan barang/jasa semakin sulit, kurang pahamnya hukum kontrak, kurangnya anggaran pendampingan hukum, dan sebagainya. Dalam kesempatan ini, Setya memberikan solusinya.

Setya menyarankan kepada Biro Hukum K/L/D/I untuk meluruskan pemahaman bersama pejabat K/L/D/I betapa pentingnya memahami ilmu pengadaan barang/jasa. Tujuan dan fungsinya tidak hanya sekedar lolos dari proses audit sesuai prosedur, tetapi hasil audit tersebut harus bermanfaat bagi masyarakat.

“Ternyata hanya mengejar status wajar tanpa pengecualian (WTP). Pokoknya kalau diaudit, lolos. Kalau begitu ya, susah. Jadi tujuannya salah,” ujar Setya.

Lalu, disarankan juga kepada aparat penegak hukum (APH) bahwa pembahasan kasus korupsi pengadaan barang/jasa tidak hanya berfokus pada proses pemilihan dan pelaksanaan kontrak saja. Sehingga pejabat pembuat komitmen (PPK), kelompok kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) dan pejabat penerima hasil pekerjaan (PPHP) pun sudah pasti ditunjuk sebagai terdakwa. APH juga turut memperhatikan siapa yang membuat rencana proyek pengadaan barang/jasa.

Sebelum menghadapi kasus pengadaan barang/jasa, Setya mengingatkan selalu membaca ketentuan dan pelajari aturan hukum pengadaan barang/jasa secara dinamis. Proses pengadaan dan sengketa kontrak pun perlu didokumentasi sebagai bukti materiil. “Jangan bilang katanya. Biasanya. Di sidang pengadilan tidak berlaku”, lanjutnya.

Dalam hal teknis, K/L/D/I perlu menganalisa kebutuhan masyarakat sebelum menyusun rencana kegiatan dan belanja anggaran terkait penyusunan APBN/D. Selain itu, rencana tersebut juga harus mendukung rencana strategis K/L/D/I. Setya menyebutkan beberapa kegiatan K/L/D/I tidak ada tujuannya dan tumpang tindih. “Jadi, tolong kalau bikin kegiatan harus ada analisis kebutuhan. Ngak boleh ada kegiatan yang titipan” pesannya.

Dalam proses lelang pengadaan di bawah 200 juta rupiah, Pokja ULP harus berubah mindset-nya kalau pemilihan penyedia tidak harus mencari harga yang termurah sekaligus diperhitungkan juga evaluasi teknis sesuai kualitas. Apabila teknisnya sudah sesuai kebutuhan pada proses pemilihan, maka penawaran harga seharusnya naik mencapai ambang batas pagu anggaran. “Murah mau selamat, tidak ada itu”, tegasnya.

Setya juga mencontohkan, sebagian daerah terkena kasus penyalahgunaan wewenang. Salah satunya adalah penambahan syarat penyedia harus memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Akibatnya, peserta lelang dibatasi sehingga pemenangnya selalu berada di pihak ketiga (makelar). Persyaratan tersebut mencederai pasal 56 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan Perubahannya. “Dilarang menambah persyaratan yang diskriminatif yang mengakibatkan tidak ada persaingan. Mengakibatkan membatasi peserta lain”, jelasnya.

Setya mengharapkan, solusi tersebut bisa diterapkan Biro Hukum K/L/D/I agar dapat meluruskan pemahaman terhadap berbagai pihak dalam menangani sengketa hukum di pengadilan nanti. “Mudah-mudahan program ini, kita maunya jumlah kasusnya berkurang. Bukan nambah. Tidak ada kasus yang berulang”, harapnya.

0 komentar

Posting Komentar

Pages