Senin, 02 Oktober 2017

Optimalisasi Sistem Pengelolaan Pengadaan Dorong Pencapaian Value for Money

Basis pengelolaan dan manajemen pengadaan perlu berorientasi pada efektivitas dan efisiensi untuk mencapai value for money. Hal ini erat kaitannya dengan optimalisasi dalam proses perencanaan, manajemen, dan pelaksanaan pengadaan.

Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah Ikak G Patriastomo menjelaskan, dalam hal perencanaan misalnya, pejabat pengadaan dituntut mampu menerapkan sistem manajemen pemaketan secara efektif guna memangkas jumlah paket pengadaan. Dengan melakukan optimalisasi pemaketan, hal ini dapat memberikan dampak positif terhadap kinerja pengadaan, terutama dari sisi waktu pelaksanaan.

“Dengan situasi seperti itu, teman-teman pokja ULP bisa selesaikan pekerjaan dalam waktu yang singkat dan syukur-syukur bisa dilakukan di bulan-bulan ini (sebelum tahun anggaran berjalan),” ujarnya saat memberikan materi pada acara bertajuk ”Modernisasi Pengadaan: Konsolidasi Pengadaan dan Probity Advice Mewujudkan Value for Money Pengadaan barang/Jasa Pemerintah”, Kamis (28/09), di Batam.

Faktanya, pokja ULP sering kali harus merealisasikan lebih banyak paket pengadaan ketika manajemen pemaketan tidak dilakukan pada saat perencanaan. Pelaksanaan pengadaan pun berpotensi menjadi lebih berisiko karena keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya pengawasan.

Untuk itu, Ikak pun mengharapkan, optimalisasi skala paket pengadaan dapat mendorong terbentuknya sistem pelaksanaan dan pengawasan yang lebih manageable, yang berimplikasi terhadap penetapan penyedia dengan kualitas dan kompetensi yang lebih baik.

“Maka perlu kita pikirkan bagaimana menjadi manageable, menjadi lebih mudah kita handle pelaksanaan dan manajemen pelaksanaannya, tentunya dengan situasi para pihak yang lebih kompeten,” tegas Ikak pada kegiatan yang juga diselingi penandatanganan komitmen bersama ini.



Lebih lanjut, ia pun menyoroti fenomena tumpang tindih antara kompetensi dan fungsi-fungsi satuan kerja yang tidak ideal. Pasalnya, penugasan SDM pada beberapa instansi dinilai masih belum berorientasi pada kompetensi. Hal ini mengakibatkan penetapan pengelola pengadaan kurang terorganisasi dengan baik dan bertentangan dengan kompetensi yang dibutuhkan.

“Misalnya, bangun rumah sakit yang jadi PA itu kepala dinas kesehatan atau direktur rumah sakit. Lalu yang menjadi PPK—karena bingung dia—akhirnya  terpaksa dokter disuruh menjadi PPK,” ujarnya mencontohkan.

Ikak khawatir kurangnya kompetensi dan kapabilitas pejabat pengadaan dapat menyebabkan lemahnya sistem pengawasan.  Hal ini tentu berpotensi besar menimbulkan permasalahan hukum dalam pelaksanaan pengadaan. 

“Jadi, meletakkan organisasi pengadaan di semua unit pelaksana pengadaan itu perlu kita pikirkan kembali. Jangan-jangan memang ada spesialisasi dalam pengelolaan pengadaan kita,” pungkasnya.

Di sisi lain, Ditjen Bina Keuangan Daerah Asnil, menyebut bahwa pemerintah pusat telah mengusahakan penetapan APBD pada 30 November sebelum tahun berjalan agar pelaksanaan pengadaan dapat berlangsung optimal. Sayangnya, implementasi pengadaan di daerah justru masih sering kali terlambat. 

Dalam menanggapi kegamangan pejabat daerah terkait penetapan sebagai pejabat pengadaan, Asnil menekankan bahwa penunjukan dan penetapan, baik PPK, PPTK, PA dan KPA, sebetulnya tidak dihitung berdasarkan tahun anggaran. Untuk itu, ia berharap pejabat-pejabat pengadaan yang telah ditunjuk dapat tetap bekerja sampai penetapan SK berikutnya diterima.

“Jadi, tidak ada aturan yang menyatakan bahwa PPK, PPTK, atau PA dan KPA tadi hitungannya tahun anggaran. Kebiasaan kita seperti itu; setiap tahun SK itu diperbarui sehingga ada alasan ‘loh, saya nggak mau laksanakan dulu’,” pungkasnya.

0 komentar

Posting Komentar

Pages